Recent Post

Kamis, 10 Mei 2012

Tata Cara Upacara Ngaben



       Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.
Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara.
Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.
Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat presfiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”.
Adapun yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti).
Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak sang mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut “mralina”.
Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul dari sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin karena api praline dipandang lebih mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.
Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran api sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan sthula sarira (badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan dari “Ngaben”.
B. Landasan Filosofis
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu manusia ituterdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Roh).
Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca mahabhuta yaitu prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.
Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah sebagai berikut : sari-sari Panca Maha Bhuta yang terdapat pada berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang disebut sad rasa yaitu Madhura (manis), Amla (asam), Tikta (pahit), Kothuka (pedas) , kyasa (sepet) dan lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan dan diminum oleh manusia, dimana didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama bang (Ovum / sel telur) dan kama putih (sperma). Dalam pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui pengentalan menjadilah ia janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom, darah lamas (kakere) dan ari-ari.
Percampuran kedua kama ini dapat menjadi janin, bilamana atma masuk atau turun kedalamnya. Konon atma ini masuk kedalam unsur kama yang bercampur ini, ketika ibu dan bapak dalam keadaan lupa, dalam asyiknya menikmati rasa. Disamping Panca Maha Bhuta yang kemudian berubah menjadi janin ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha Bhuta itu. Panca Tan Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma Sarira, yakni Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yaitu disebut Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia. Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan dan ahamkara adalah alam keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira. Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan atas pengendali Citta tadi. Bekas-bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si Atma (roh) yang akan pergi ke alam pitra.
Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atma akan pergi meninggalkan badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma (roh).
Untuk tidak terlalu lama atma terhalang perginya , perlu badan kasarnya di upacarakan untuk mempercepat proses kembalinya kepada sumbernya dialam yakni Panca Maha Bhuta. Demikian juga bagi sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben.
Kalau upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil, dan Atmanya akan mendaptkan Neraka, seperti dijelaskan :
“Yan wwang mati mapendhem ring prathiwi salawasnya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro haro gering mrana ring rat, etemahan gadgad”
Artinya
“kalau orang mati ditanam pada tanah, selamnya tidak diupacarakan diaben, sungguhnya  akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit mrana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)….”(lontar Tatwa Loka Kertti, lampiran 5a).
Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah :
  1. Ketuhanan / Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan kalimat Sang Sangkan Paraning Dumadi artinya beliau sebagai asal dan kembalinya alam semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan manusia ke asalnya. Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu Moksartham Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi agama Hindu adalah mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai proses menyatunya Atma dengan Brahman atau dengan istilah Atman Brahman Aikyam, konsep Agama Hindu adalah untuk kembali menyatu dengan sang pencipta (Brahman / Tuhan), dimana Tuhan merupakan asal semua kehidupan.
  2. Atman (roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia. Ia yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma merupakan setetes kecil (atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci, atma perlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.
  3. Karma : Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (Asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan menjadi beban atma akan kembali keasalnya. Lebih-lebih buah karma yang buruk. Ia merupakan beban atma yang akan menghempaskan ke alam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi ia mampu membebaskan dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan prasarana orang lain. Tapi bagi manusia biasa, ia memerlukan pertolongan. Hal-hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara Ngaben itu, yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.
  4. Samsara : artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Adalah sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan atma untuk dapat kembali ke asalnya. Hal ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan lainnya seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.
  5. Moksa : artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan semua manusia. Dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu, atma harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir Ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur dan terakhir Ngalinggihang Dewa Hyang pada sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti Atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa (kendatipun ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).
C. Unsur Metafisika dalam Ngaben
Setelah mengetahui maksud dan tujuan serta landasan filosofis. Penulis akan mencoba mengungkapkan unsur metafisika yang terdapat dalam upacara ngaben. Berangkat dari ontologi (metafisika umum) yang berusaha menjawab persoalan dan menggelar gambaran umum tentang struktur yang ada atau realitas berlaku mutlak untuk segala jenis realitas (yang ada). Realitas yang mendasar yang diyakini sebagai sumber dan makna itu oleh Sontag (1970:4) disebut sebagai “prinsip utama” ( the first principle ). Setiap filsuf atau aliran dalam memahami prinsip pertama menggunakan cara-cara yang berbeda, oleh karena itu dalam pemikiran filsafat kita menemukan beberapa model pendekatan, dari yang tradisional sampai yang paling kontemporer. Pendekatan itu berkembang dari model pemikiran kosmosentris, theosentris, antroposentris, logosentris, dan ke gramatologisentris. Masing-masing memiliki watak, titik pijak, perspektif, dan orientasi yang berbeda.
Telah ditetapkan bahwa dalam upacara ngaben dianggap sebagai “simbolis pengantar atma (jiwa) ke alam pitra (baka)”. Proses pengantaran atma ke alam pitra merupakan prinsip utama yang lalu dituangkan melalui symbol berupa upacara yang disebut Ngaben. Oleh karena itu “proses pengantaran atma (jiwa) ke alam pitra (baka)” tersebut merupakan prinsip pertama dalam ontologi upacara ngaben.
D. Dasar Hukum
Ngaben merupakan salah satu upacara adat Umat Hindu yang masuk ke dalam ruang lingkup upacara Pitra Yajna. Dimana yang dimaksud dengan Pitra Yajna adalah persembahan suci kepada leluhur. Pitra Yajna berasal dari kata Pitr yang artinya leluhur, yajna yang berasal urat kata yaj yang berarti berkorban. Leluhur dimaksud adalah Ibu Bapak, kakek, buyut, dan lain-lain yang merupakan garis lurus ke atas, yang menurunkan kita. Kita ada karena ibu dan Bapak. Ibu dan Bapak ada karena Kakek dan Nenek, begitu seterusnya. Jadi kita ada atas jasa mereka. Kita telah berhutang kepada mereka. Hutang kepada leluhur disebut Pitra Rna. Hutang ini harus dibayar, membayar utang kepada leluhur dengan melaksanakan pitra yajna. Jadi pitra yajna merupakan suatu pembayaran hutang kepada leluhur. Hal inilah yang menjadi dasar hukum dari pada Pitra Yajna itu.
Upacara menghormati leluhur dalam Agama Hindu di kenal dengan istilah Sradha. Hal ini dijelaskan dalam Menawa Dharma Sastra sebagai berikut : “Upacara Pitra Yajna yang harus kamu lakukan Hendaknya setiap harinya melakukan sraddha dengan mempersembahkan nasi atau dengan air dan  susu, dengan umbi-umbian . Dan dengan demikian Ia menyenangkan para leluhur.” (M.D.S.I.82).
E. Jenis – jenis Ngaben Sederhana
1. Mendhem Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
2. Ngaben Mitra Yajna
Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna.
Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).
3. Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.
4. Pranawa Bhuanakosa.
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.
5.   Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta. Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.
F. Ngaben Sarat
Ngaben Sarat adalah Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara ngaben sarat ini memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan baik terhadap sawa yang baru meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem. Ngaben sarat terhadap sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan ngaben sarat terhadap sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik sawa prateka maupun sawa wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang lainnya yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah terhadap kedua jenis ngaben ini disebut Ngaben Sarat.
  1. Kondisi Umat Hindu dimasa lalu
Pada masa lalu, lebih-lebih sebelum masa kemerdekaan, umat Hindu kondisinya sangat lemah. Sebagai masyarakat Agraris mereka berpenghasilan sangat rendah. Pemahaman terhadap Agama Hindu sangat rendah. Lebih-lebih ketika itu, ajaran Agama masih tabu untuk dipelajari secara umum. Motto away wera yang disalahtafsirkan menghantui pikiran umat. Akibatnya pemahaman Agama Hindu sangat rendah. Pengertian Ngaben disalah artikan dimana Ngaben adalah identik dengan Ngabehin. Kalau tidak mempunyai dana yang besar umat tidak akan berani ngaben. Umat tidak mengenal ada bentuk ngaben sederhana. Lalu mereka jarang sekali ngaben. Kalau toh ada ngaben mereka pasti golongan mekel, golongan menak, keluarga Puri, atau Geria.
Sewaktu-waktu umat kebanyakan juga ikut ngaben. Namun secara kolektif, baik dengan cara ngiring (ikut / numpang) pada puri atau pun geria; kadang kala dari masyarakat yang berpikiran agak maju, melaksanakan ngaben kolektif yang disebut Ngagalung. Biasanya disponsori oleh banjar. Akibat dari semua itu, sawa leluhur lama terpendam. Bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip ngaben.
  1. Kondisi umat Hindu masa sekarang.
Masyarakat sekarang telah measuki era Industrialisasi. Khususnya Bali adalah Industri Pariwisata. Masyarakat Industri adalah masyarakat yang penuh dengan kesibukan. Pendapatan masyarakat semakin meningkat. Pemahaman terhadap ajaran agama juga semakin meningkat, pelaksanaan upacara menjadi semakin semarak. Dengan pendapatan yang tinggi maka semakin bergairah dalam melaksanakan ibadah agamanya. Bagi Agama Hindu melaksanakan upacara agama termasuk ngaben kelihatan makin semarak saja. Setiap orang mati kebanyakan diaben. Ada yang mengambil ngaben sederhana dan ada juga yang mengambil jenis pengabenan sarat. Disisi lain akibat dari dampak pengaruh industri pariwisata, adalah penyempitan waktu. Hidup gotong royong seperti masa lalu mulai terancam. Kalau ada tetangga yang ngaben, tanpa diundang dia datang untuk membantu bekerja. Tapi sekarang tanpa di undang ia tidak akan datang. Kalau toh diminta paling-paling bisa membantu 1 s/d 2 kali saja. Syukurlah masyarakat Hindu di Bali masih mempunyai Banjar. Banjar adalah suatu lembaga adat yang andal untuk mempertahankan kebersamaan dan gotong-royong. Melalui banjar umat Hindu yang ngaben dapat mengharapkan bantuan warganya. Hanya beberapa kali mereka dapat meminta gotong-royong banjar. Ternyata lembaga banjar ini masih sangat efektif untuk membantu pelaksanaan ngaben.
Jenis-jenis Ngaben Sarat :
Jenis-jenis Ngaben Sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
  1. Bilamana sawa yang diupakarakan itu baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sawa Prateka adalah jenis ngaben untuk sawa (mayat) yang baru meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan. Bila disimpulkan yaitu begitu atma atau urip meninggalkan badan, sawanya lalu diupacarakan di rumah seperti dimandikan, diperciki tirta pemanah, dihidangkan saji tarpana, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya terdahulu. Jadi di rumah betul sawanya yang diupakarakan. Inilah yang disebut Sawa Prateka.
  2. Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah dikubur (di pendhem) lalu di aben disebut Sawa Wedhana. Sawa Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam di Setra namanya makingsan, dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan setra. Demikian prihalnya sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan sawa itu namanya sawa Wedhana. Tiga hari menjelang pengabenan ada upakarannya yang disebut ngulapin. Sawa yang telah pernah dipendhem disebut tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi tawulan ini diganti dengan pengawak, yang terbuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari. Cendana ini digambari orang-orangan sebagai pengganti sawa. Pengawak ini disebut sawa karsian. Upacara ngaben jenis ini juga disebut Sawa Rsi.
G. Pembagian Ngaben Menurut Caranya
Selain pembagian ngaben menurut jenis ngaben diatas baik ngaben sederhana maupun ngaben sarat, adapula pembagian ngaben dilihat dari cara pelaksanaannya yaitu :
1. Ngaben Langsung
Ngaben Langsung Artinya, Upacara ini langsung dilakukan setelah orang itu meninggal. Ini biasanya dilakukan bagi mereka yang boleh dikatakan mampu untuk urusan ekonominya. Pada umumnya upacara ngaben dari persiapannya membutuhkan waktu yang agak lama, minimal kira-kira 10 hari, itupun jika “hari baik” berdasarkan hitungan kalerder Bali sudah dapat ditentukan / dipilih. Sementara itu biasanya mayat dari orang yang meninggal akan diawetkan terlebih dahulu, baik dengan cara pembekuan (es), atau dengan zat kimia lainnya.
2. Ngaben Massal (ngerit)
Seperti namanya ngaben masal dilakukan secara bersama-sama dengan banyak orang. Di masing-masing desa di Bali biasanya mempunyai aturan tersendiri untuk acara ini. Ada yang melakukan setiap 3 tahun sekali, ada juga setiap 5 tahun dan mungkin ada yang lainnya. Bagi masyarakat yang kurang mampu, ini adalah pilihan yang sangat bijaksana, karena urusan biaya, sangat bisa diminimalkan. Biasanya mereka yang mempunyai keluarga meninggal dunia, akan di kubur terlebih dulu. Pada saat acara ngaben masal inilah, kuburan itu digali lagi untuk mengumpulkan sesuatu yang tersisa dari mayat tersebut. Sisa tulang atau yang lain, akan dikumpulkan dan selanjutnya dibakar.
Prosesi upacara ngaben selanjutnya, setelah pembakaran mayat, abunya kemudian dibuang ke laut. Dilanjutkan dengan upacara penjemputan arwah di laut tersebut, sebelum akhirnya ditempatkan di pura keluarga masing-masing. Disinilah biasanya seperti dijelaskan dihalaman lain tentang pura keluarga masyarakat hindu di Bali, disamping fungsinya untuk memuja tuhan juga untuk memuja para leluhurnya.
H. Hari Baik atau Dewasa Ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam kecil dengan alam besar (Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar terhadap kehidupan manusia serta akibat dari pengaruh saling berhubungan itu betul-betul diperhatikan oleh setiap umat Hindu dalam melakukan usaha terutama dalam melakukan upacara yajna, dalam hal ini ngaben.
Bergeraknya matahari ke utara atau keselatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan penglihatan manusia, seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Bumi, lahir bathin. Bergeraknya matahari inilah yang menjadi patokan pesasihan dalam ilmu wariga itu. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari dewasa, khususnya dewasa ngaben sarat.
Bila kita perhatikan keadaan sasih yang disebabkan pergeseran matahari ke utara ke selatan (secara pandangan manusia) maka akan terlihatlah bagian-bagian sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk upacara apa tepatnya, sesuai dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.
I. Upacara Adat Ngaben di Desa Trunyan Bali.
Terletak di pinggir Danau Batur dan dikelilingi tebing bukit, Desa Trunyan memiliki banyak keunikan sebagai sebuah desa kuna dan Bali Aga (Bali asli). Konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Beliau bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu. Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama kelamaan menjadi Trunyan. Desa ini berada di Kecamatan Kintamani, Daerah Tingkat II Bangli. Ternyata tidak semua umat Hindu di Bali melangsungkan upacara ngaben untuk pembakaran jenasah. Di Trunyan, jenasah tidak dibakar, melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Trunyan adalah desa kuna yang dianggap sebagai desa Bali Aga (Bali asli). Trunya memiliki banyak keunikan dan yang daya tariknya paling tinggi adalah keunikan dalam memperlakukan jenasah warganya. Trunyan memiliki tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa Trunyan, ketiga jenis kuburan itu di- klasifikasikan berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan yaitu :
1.   Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik yang disebut Setra Wayah.
Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat, dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar (bukan bunuh diri atau kecelakaan).
2.   Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat.
3.   Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun ulah pati (meninggal secara tidak wajar misalnya kecelakaan, bunuh diri).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya unik yaitu dikenal dengan istilah mepasah. Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bambu membentuk semacam kerucut, digunakan untuk memagari jenasah. Di Setra Wayah ini terdapat 7 liang lahat terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan masih ada 5 liang berjejer setelah kedua liang tadi yaitu untuk masyarakat biasa.
Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan tengorak-tengkorak manusia yang tidak boleh ditanam maupun dibuang. Meski tidak dilakukan dengan upacara Ngaben, upacara kematian tradisi desa Trunyan pada prinsipnya sama saja dengan makna dan tujuan upacara kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali lainnya. Upacara dilangsungkan untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang tuanya. Hutang itu dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama dibayarkan dengan perilaku yang baik ketika orang tua masih hidup dan tahap kedua pada waktu orang tua meninggal serangkaian dengan prilaku ritual dalam bentuk upacara kematian.

0 komentar:

Posting Komentar